fbpx

4 Tradisi Masyarakat Jawa Sebelum Memasuki Puasa Ramadan.

Share This Post

Pulau Jawa merupakan pulau dengan kekayaan budaya yang sangat beragam dan menarik untuk dieksplorasi. Salah satunya adalah tradisi-tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menyambut bulan Ramadan. Tradisi-tradisi tersebut juga menjadi bagian penting dari kebudayaan masyarakat Jawa, sehingga sering kali menjadi daya tarik wisata budaya. Beberapa di antaranya adalah padusan, megengan, dan dugderan dan dhandangan. berikut pembahasan dari kampungsurga.id yang berhasil merangkumnya dari berbagai sumber.


1. Padusan

Menurut informasi yang dilansir oleh Portal Informasi Indonesia, tradisi padusan merupakan budaya yang lazim dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada awalnya, tradisi ini dilakukan secara individu dengan mandi atau berendam di sumur atau sumber mata air di tempat yang sepi untuk mensucikan diri menjelang bulan Ramadan. Namun, saat ini padusan telah mengalami pergeseran nilai dan dijadikan acara beramai-ramai yang melibatkan mandi, keramas, dan berendam di mata air pada hari sebelum Ramadan dimulai. Akibat pergeseran nilai ini, beberapa tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta menjadi obyek wisata padusan, di antaranya Umbul Manten di Klaten dan Umbul Pajangan di Sleman. (Sumber: Portal Informasi Indonesia)

2. Magengan

Megengan adalah salah satu tradisi selamatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa Timur menjelang Ramadan. Tradisi ini dimulai dengan melakukan ziarah ke makam leluhur dan kemudian dilanjutkan dengan selamatan pada petang hari dengan hidangan apem dan pisang raja.

Nama “megengan” sendiri berasal dari kata “megeng” yang berarti menahan. Dalam konteks puasa, artinya adalah menahan hawa nafsu selama bulan Ramadan. Tradisi ini mengajarkan untuk menahan diri dari godaan-godaan duniawi dan untuk memperkuat semangat dalam menjalankan ibadah puasa.

Meskipun belum ada bukti historis yang ditemukan, tradisi megengan diduga kuat diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merupakan salah satu ulama besar Jawa yang dikenal sebagai penyebar Islam di Jawa dan penyebar budaya Islam Jawa. Sunan Kalijaga sering menggunakan ajaran-ajaran Islam yang mengacu pada kearifan lokal dalam budaya Jawa, sehingga menciptakan tradisi-tradisi baru akulturatif yang bervariatif.

Menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad Suaedy, dosen Universitas Paramadina, tradisi megengan juga terkait dengan konsep “ngalap berkah” atau mencari keberkahan. Konsep ini mengajarkan bahwa keberkahan tidak hanya diperoleh dengan menjalankan ibadah, tetapi juga dengan melakukan perbuatan baik dan mempererat hubungan sosial dengan orang lain.

Megengan sebagai tradisi selamatan menjelang Ramadan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Jawa Timur. Selain sebagai wujud rasa syukur kepada leluhur, tradisi ini juga mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran-ajaran Islam yang menguatkan semangat dalam menjalankan ibadah puasa.

Sumber:

3. Dugderan

Dudgeran adalah salah satu tradisi yang menjadi ciri khas masyarakat Semarang dalam menyambut bulan Ramadan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan setiap tahun pada malam 1 Ramadan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tradisi ini mencerminkan perpaduan budaya antar etnis yang mendominasi wilayah Semarang, yakni Jawa, Tionghoa, dan Arab.

Dalam tradisi dugderan, terdapat dua unsur yang menonjol, yakni bunyi bedug dan tembakan meriam. Bunyi bedug merupakan suara yang dihasilkan oleh alat musik yang terbuat dari kulit binatang yang dikeringkan dan ditali di sekeliling rangka kayu yang dihentakkan dengan alat pemukul. Sedangkan bunyi tembakan meriam berasal dari senjata yang digunakan dalam perang zaman dahulu yang digunakan untuk memberi sinyal atau pengumuman kepada masyarakat.

Menurut beberapa sumber, tradisi dugderan bermula pada tahun 1981. Pada saat itu, terdapat perbedaan pendapat mengenai penentuan awal Ramadan antara dua lembaga resmi di Indonesia, yakni Pemerintah dan Persatuan Islam (PERSIS). Untuk menyamakan persepsi masyarakat, maka ditabuhlah bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten dan dibunyikan masing-masing tiga kali kemudian dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.

Perayaan dugderan tidak hanya berisi tentang bunyi bedug dan tembakan meriam, namun juga menjadi ajang untuk berbelanja makanan dan minuman khas Semarang. Masyarakat juga dapat membeli aneka mainan dan suvenir sebagai kenang-kenangan. Selain itu, dalam upacara dugderan juga terdapat ikon berupa “warak ngendhog” yang merupakan hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga yang memperlihatkan perpaduan budaya antar etnis.

Sumber:

4. Dhandangan

Dhandhangan adalah sebuah tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, untuk menyambut bulan suci Ramadan. Tradisi ini terjadi di depan Masjid Menara Kudus dan dilakukan dengan memukul bedug dengan ritme tertentu sehingga menghasilkan bunyi yang khas, yaitu “dang”.

Menurut laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, tradisi Dhandhangan pertama kali dilakukan oleh para santri di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini semakin populer dan menarik minat masyarakat dari luar Kudus untuk hadir dan menikmati berbagai makanan dan barang dagangan yang dijual di sekitar area acara.

Saat ini, Dhandhangan tidak hanya menjadi acara tunggu pengumuman awal puasa, tetapi juga menjadi pasar malam yang diselenggarakan setiap tahun menjelang Ramadan. Festival ini juga menampilkan Kirab Dhandangan yang menampilkan berbagai unsur budaya dan sejarah yang khas dari Kabupaten Kudus.

Seperti dikutip dari laman budaya-indonesia.org, Dhandhangan juga merupakan wujud perpaduan antara budaya Jawa, Arab, dan Cina yang ada di Kabupaten Kudus. Perayaan Dhandhangan juga menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama dan memperkenalkan budaya mereka kepada orang lain.

Meskipun tradisi Dhandhangan telah mengalami perubahan dan penambahan unsur baru, namun tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal serta nilai-nilai religius dan budaya yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini menjadi bagian penting dari kekayaan budaya Indonesia dan perlu dilestarikan untuk generasi mendatang.

Meskipun memiliki asal-usul dan pelaksanaan yang berbeda, namun keempat tradisi ini mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran-ajaran Islam yang dapat menguatkan semangat dalam menjalankan ibadah puasa. Selain itu, keempat tradisi ini juga menjadi ciri khas dari masing-masing daerah dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat setempat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verified by MonsterInsights